PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN SAWIT BERKELANJUTAN DI INDONESIA


Latar Belakang
Salah satu komoditas pertanian yang kontroversial di dunia adalah pertanian kelapa sawit. Dalam perjalanannya kelapa sawit ini seakan memilki 2 mata pisau, di satu sisi kelapa sawit ini memiliki banyak manfaat terutama untuk sektor ekonomi dan disisi lain memiliki dampak negatif terutama terhadap lingkungan. GAPKI berpendapat bahwa industri kelapa sawit telah menjadi kekuatan kesetaraan dengan memberi manfaat kepada masyarakat pedesaan di negara-negara ini dan menyediakan mereka cara untuk keluar dari kemiskinan (GAPKI, 2013). Sementara di tingkat global, minyak kelapa sawit juga dianggap memiliki kontribusi penting bagi ketahanan pangan global karena perannya sebagai pemasok utama pasar minyak nabati global (Nesadurai, 2013). Di Indonesia sendiri kelapa sawit menjadi komoditas andalan dengan luas pertanian sawit yang disajikan pada tabel di bawah ini dari dataDirektorat Jenderal Perkebunan.




 
Dengan estimasi jumlah luas pertanian sawit pada tahun 2017 sebesar 12.307.677 Ha yang dibilang besar dan terus meningkat ternyata di sisi lain yang berseberangan, minyak sawit dianggap sebagai sumber masalah. LSM internasional seperti Greenpeace menyalahkan ekspansi perkebunan kelapa sawit sebagai pendorong utama deforestasi dan dengan demikian menjadi sumber utama perubahan iklim (Greenpeace ,2015). Yang lain juga menyalahkan industri minyak sawit untuk masalah sosial seperti pelanggaran hak asasi manusia, konflik tanah, dan penindasan masyarakat lokal (Nesadurai, 2013: 510-513).
Peluang ekonomi yang besar dari pertanian kelapa sawit ini, tidak bisa dirasakan seutuhnya karena disisi lain pertanian kelapa sawit ini menjadi faktor masalah juga. Salah satu permasalahan yang cukup besar adalah kebakaran lahan akibat perluasan lahan yang peruntukannya untuk menanam kelapa sawit. Perusahan maupun masyarakat seakan terlalu tergiur akan nilai ekonomi yang besar, yang dihasilkan oleh kelapa sawit namun lupa tentang keberlanjutan lingkungannya dengan masalah yang dihasilkannya. Permasalahan kebakaran lahan ini bukan menjadi permasalahan lokal saja, namun juga menjadi permasalahan lintas batas negara, karena kebakaran hutan di Indonesia ini juga di rasakan dan berdampak bagi negara-negara yang berada berdekatan dengan Indonesia seperti Malaysia dan Singapore. Selain itu isu global lain muncul karena produksi sawit Indonesia tidak diterima oleh Uni Eropa karena dalam peraturan mereka setiap produk tidak mengandung usur exploitasi anak dibawah usia kerja, pelanggaran ham, dan ramah lingkungan yang membuat produk indonesia terutama kelapa sawit tidak mudah masuk ke pasarnya.
Peran Pemerintah
Dengan semua permasalahan pertanian sawit ini sebetulnya pemerintah tidak tinggal diam saja. Perlindungan dan pengelolaan lahan gambut yang peruntukannya biasa digunakan untuk lahan pertanian sawit, telah diatur di dalam berbagai produk hukum mulai dari Undang-Undang/UU, Peraturan Pemerintah/PP, Peraturan Presiden/Perpres, dan Peraturan Menteri/ Permen. Apabila dirunut, kebijakan yang pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah terkait gambut adalah Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung yang menyebutkan kawasan gambut dan kriterianya sebagai salah satu bagian dari kawasan yang memberikan perlindungan di bawahnya. Sampai dengan Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan pada tahun 2016 melalui peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Dalam menyelenggarakan upaya memulihkan fungsi ekosistem gambut untuk mencegah berulangnya kebakaran hutan dan lahan serta dampak asap, BRG mempunyai tugas memfasilitasi dan mengkoordinasi restorasi ekosistem gambut seluas 2 (dua) juta hektar.
Namun yang menjadi masalah adalah praktik dilapangan ketika peraturan sudah dibuat namun dilapangan aturan-aturan yang dibuat tersebut tidak berjalan dan Inkosistensi yang meliputi aspek: 1) Perencanaan; 2) Pengendalian; 3) Pemeliharaan; dan (4) Sanksi Administratif. Oleh karena itu perlu adanya harmonisasi peraturan perundang-undangan di tingkat nasional supaya pertanian sawit yang memiliki manfaat secara ekonomi ini menjadi pengelolaan keberlanjutan tanpa ada dampak sosial dan lingkungannya.
Penutup
Berdasarkan penjelasan sebelumnya pertanian sawit di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Dalam pelaksanaannya dampak negatif muncul karena pengelolaan yang belum berlandaskan aspek kebelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Selain itu faktor inkosistensi dan tidak berjalannya hukum serta peraturan menjadi inti pembuat permasalah yang ditimbulkan seakan tidak henti-henti. Melihat permasalahan tersebut diperlukan harmonisasi pada setiap elemen yang ada dalam pengelolaan pertanian sawit ini. Saran untuk kebijakan yang bisa diterapkan adalah dengan :
1.    Reward dan panismen bagi penegak hukum, reward bagi yang mampu menangkap pelanggar undang-undang dan merugikan banyak orang, misalnya pelaku atau pihak bertanggung jawab  dalam masalah  pembakaran lahan. Sebaliknya panismen bagi penegak hukum yang tidak bisa menangkap atau seakan membiarkan para pelaku atau pihak bertanggung jawab.
2.    Insensit dan Disintensif. Pemerintah memberikan insentif kepada pengelola yang memenuhi semua persyaratan dan memenuhi kualifikasi dari aspek lingkungan, sebagai pengelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, sesuai dengan prinsip dan kriteria pengelolaan perkebunana kelapa sawit yang berkelanjutan. Sebaliknya pemerintah akan memberikan sanksi atau mencabut ijin perusahaan/ pengelola perkebunan kelapa sawit yang terbukti mengabaikan persyaratan dan kualifikasi dari aspek lingkungan, sebagai pengelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, yang tidak sesuai dengan prinsip dan kriteria pengelolaan perkebunana kelapa sawit yang berkelanjutan.
3.    Perubahan institusional, mengingat isu lingkungan sudah menjadi isu lintas batas, lintas benua, lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu, yang belum bisa terakomodasi dan tergambarkan dari struktur kelembagaan yang ada saat ini.
Daftar Pustaka
Artikel dan Jurnal
Corley, R.H.V. 2009. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental Science and Policy 12 (2009): 134-139.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia: tree crop estate statistics of indonesia.Jakarta
GAPKI. 2016. Industri Minya Sawit Merupakan Industri Strategis Nasional. Jakarta.
Greenpeace International. 2015. Indonesia Terbakar: Dalam Kepungan Api. Krisis Kebakaran Adalah Ujian Komitmen Koorporasi Terhadap Perlindungan Hutan. Amsterdam: Wetlands Internationa
Kehati. “Kerusakan Lingkungan Mengancam Keanekaragaman Hayati”. Tajuk Warta Kehati Juni-Juli 2000.
PAPSI. 2015. Masyarakat Dunia Memerlukan Tambahan Tiga Kali Lipat Kebun Sawit Menuju 2050. Bogor
Prasetiawan, Tedy. “Masa Depan Lahan Gambut Indonesia”. Jurnal Aspirasi, No.2, Desember 2010.
Nesadurai, H. E. S.(2013. Food security, the palm oil-land conflict nexus, and sustainability: a governance role for a private multi-stakeholder regime like the RSPO? Pacific review, 26(5), 505-529.
Nurjaya, I Nyoman. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia”. Jurnal Jurisprudence, Vol.2, No.1, Maret 2005:35-55.
Sitorus, B & Maryam,S. 2018. Politik Hukum Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Jakarta Selatan.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Republik Indonesia. 1995. Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem Gambut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 209, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5580).
Republik Indonesia. 2016. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Pengelolaan Ekosistem Gambut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 260, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5580)
Republik Indonesia. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut.
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 336).
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah Di Titik Penataan Ekosistem Gambut. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 337).
Republik Indonesia. 2017. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 338).
Republik Indonesia. 2017.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.12/ MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri. (Berita Negara RI Tahun 2017 Nomor 339).

Comments

Popular posts from this blog

Geografi Pariwisata ( MICE SEBAGAI POTENSI PARIWISATA DI INDONESIA)

Pemanfaatan Aplikasi SIG Untuk Pengembangan Bandara

Kondisi Petani dan Pertanian di Indonesia